Sebagian ulama menganjurkan untuk memanjangkan takbir intiqal sepanjang gerakan perpindahan. Sehingga jika jarak bergeraknya jauh, seperti dari sujud ke berdiri, maka takbir intiqal lebih panjang.
Ini merupakan pendapat an-Nawawi dan ar-Rafi’I – keduanya ulama Syafi’iyah – .
Baca Juga : Hukum Makan Sesudah Wudhu?
Baca Juga : Hukum Wudhu Sambil Telanjang?
Dalam hadis dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, tentang shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir setiap gerakan naik dan turun… (HR. Ahmad 3659, Nasai 1091, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth). Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan hadis di atas,
Berdasarkan hadis ini, ar-Rafi’i menjadikannya dalil bahwa takbir dilakukan ketika duduk istirahat. Bangkit dari sujud tidak membaca takbir, kemudian mulai takbir di posisi duduk, dan dipanjangkan hingga berdiri. (al-Talkhis al-Habir, 1/625)
Demikian pula yang dinyatakan an-Nawawi. Dalam penjelasannya untuk shahih Muslim, Beliau mengatakan. ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir ketika turun sujud, kemudian bertakbir ketika bangkit…’ ini menunjukkan bahwa takbir itu mengiringi gerakan-gerakan tersebut. Dan dilakukan sepanjang gerakan perpindahan itu. Takbir dimulai ketika seseorang mulai bergerak untuk rukuk, dipanjangkan sampai dia di posisi rukuk… dia mulai takbir ketika hendak turun sujud, lalu dipanjangkan, hingga dia letakkan dahinya di tanah… dan takbir bangkit dari tasyahud awal dimulai ketika bergerak, dipanjangkan hingga tegak berdiri sempurna.. (Syarah Shahih Muslim, 4/99)
Namun pendapat ini disanggah oleh banyak ulama, termasuk para ulama madzhab Syafiiyah lainnya. Seperti al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani. Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar menyebutkan pendapat an-Nawawi. Lalu beliau memberikan komentar, bahwa hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tidak menunjukkan anjuran untuk memperpanjang lafadz takbir intiqal. (Fathul Bari, 2/273).